Wajah saya masih menghitam. Kulit saya masih mengelupas dan belang, sehingga di tangan saya ada 2 warna. Panasnya hari ketika saya mengambil gambar di acara Tabuik kemarin masih menyisakan cerita, terutama di wajah saya. Saya engga tahu berapa suhu ketika itu sampai saya merasa hari itu sangat terik. Padahal hari sebelumnya hujan deras di kota Pariaman, tempat diselenggarakannya Festival Budaya Tabuik. Kata sodara saya, biasanya kalo ada acara Tabuik, mereka pake pawang hujan. Entah benar atau tidak, yang pasti matahari siang itu ganas sekali.
Dari jam 6 pagi, orang-orang sudah ramai berada di Pasar untuk pemasangan akhir acara Tabuik. Syukurlah, kampung saya itu dekat sekali dengan terselenggaranya acara tersebut. Jadi saya sering bolak balik ke rumah kalo tidak ada aktivitas yang istimewa.
Sehabis Dzhuhur, orang-orang telah ramai di Pasar, menunggu acara pembukaan Tabuik yang diselenggarakan setiap tanggal 10 Muharram berdasarkan kalender Islam. Polisi dan anak-anak berseragam Pramuka menjadi "pagar" pembatas antara penonton dan penari. Hanya wartawan yang bisa berseliweran di tengah. Ups...bukan hanya wartawan deh, tapi orang-orang yang membawa kamera, terutama kamera DSLR.
Kebetulan saya membawa kamera DSLR dan membawa ransel. Kali mereka kira saya wartawan juga, sehingga saya bebas berseliwean mengambil gambar di tengah. Saya pun ikut gerombolan awak media, biar saya bisa mendapatkan gambar yang bagus. Hehe...
Disini saya jadi tau, beratnya menjadi wartawan. Enaknya jadi wartawan itu kalo memang sesuai passion, kalo engga, mungkin yang di dapat cuma capek doang. Bayangin mereka dituntut untuk dapat gambar yang bagus ditengah keramaian orang dan panas terik pula. Sampe ada yang manjat segala. Saluuutttt....
Oya, gambar2 acara Tabuik bisa dilihat di sini Facebook.com/TheAmazingIndonesia. Saya mau pake masker dulu ya..:))
jadi wartawan itu ada suka dukanya...apalagi kalau wartawan dadakan.... :-)
ReplyDelete